Mengintip Pesantren Waria bagi Minoritas Gender di Yogyakarta

<b>Lifepod.id</b> - Shinta Ratri yang merupakan seorang perempuan transgender di Yogyakarta membagikan cerita tentang pesantren Waria.

Mengintip Pesantren Waria bagi Minoritas Gender di Yogyakarta
Pimpinan pesantren waria Al Fatah, Shinta Ratri (tengah/berhijab) menerima sumbangan buku-buku tuntutan shalat dan Iqro dari mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.( VOA)

“Kami ini tidak hanya waria yang… begitu saja. Kami ini manusia yang punya kebutuhan yang sama dengan orang lain. Kebutuhan makan, kebutuhan rumah, kebutuhan hiburan, bahkan kebutuhan rohani untuk beribadah," katanya.

Atas dasar tersebut mendorong Shinta untuk mendirikan Pesantren Al-Fatah pada tahun 2008 yang menjadi pusat kajian agama Islam bagi transpuan atau waria sepertinya. Pesantren tersebut sekaligus menjadi ruang aman bagi mereka untuk belajar dasar-dasar beribadah.

Meski begitu, saat melaksanakan kewajiban sholat masih menjadi tantangan tersendiri bagi transpuan dimana ada sebagian yang memilih salat di barisan jamaah laki-laki dan sebagian memilih di barisan jamaah perempuan.

“Perlu diketahui juga waria ini ada dua fenomena, yang tetap memilih memakai sarung ketika beribadah atau yang memakai mukena. Kebanyakan orang masih memilih memakai sarung, kebanyakan waria, dengan alasan sendiri-sendiri. Semuanya di sini kita bebaskan atas dasar kenyamanan," kata Shinta.

 

Baca juga: Agustus, RI Akan Terima Vaksin Pfizer

 

Sedangkan bagi pendiri pesantren, Shinta mengidentifikasi dirinya sendiri sebagai perempuan saat beribadah. Hal ini juga berlaku bagi Rully Malay, salah seorang jamaah di pesantren tersebut.

“Tentunya ukuran nilai dari manusia itu tidak ditentukan oleh pakaiannya atau orientasi seksualnya, tapi bagaimana dia menjaga laku hidupnya dan melakukan ibadah-ibadahnya, baik terhadap Tuhan maupun terhadap sesama manusia, juga alam semesta," ujar Rully.

Di pesantren Al-Fatah, kajian-kajian yang dilakukan oleh para ustadz-ustadz seperti Arif Muhammad Safri, dosen UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta yang sifatnya juga secara suka rela.

“Tapi bahwa saya ingin memahamkan bahwa agama itu harus memberikan kenyamanan terhadap siapapun, termasuk kepada teman-teman transpuan. Udah lah, jauhkan aja dulu stigma, jauhkan aja dulu halal-haram. Kalau bicara macam masalah tadi itu, maka memang saya bawa agama yang memang bisa membuat kenyamanan terhadap mereka," tuturnya.

Tidak hanya di luar negeri, Transpuan di Indonesia juga kerap termajilkan dengan akses pendidikan dan pekerjaan yang terbatas. Banyak dari mereka yang akhirnya menjadi pekerja seks. Namun alih-alih menghakimi, Safri memilih untuk memberikan pelajaran agama untuk kebutuhan beribadah sehari-hari, seperti sholat lima waktu dan pentingnya menjaga kebersihan.

“Harus saya akui bahwa teman-teman masih banyak yang aktif untuk menjajakan diri. Saya berpikir, jangan-jangan di antara teman-teman juga masih banyak yang nggak bisa cara mandi wajib, ya seperti itu. banyak teman-teman yang salat juga misalnya, harus seperti apa toh salat itu?” kata Arif.

Saat ini pesantren Al-Fatah memiliki 63 anggota. Mereka setiap hari minggu berkumpul untuk mengkaji Al-Quran dan mendalami ajaran Islam.

 

Baca juga: Akhirnya! Disneyland Paris Resmi Dibuka Lagi