Perlukah Fungsi OJK Kembali ke Bank Indonesia?

<b> Lifepod.id </b> - Akibat kinerja pengawasan perbankan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selama COVID-19, Presiden Joko Widodo sedang mempertimbangkan untuk mengembalikan regulasi kembali ke Bank Indonesia (BI).

Perlukah Fungsi OJK Kembali ke Bank Indonesia?
Img. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia | Lifepod.id

Wacana ini bermula dikarenakan OJK belum sesuai harapan dan dirasa kurang mampu melakukan pengawasan keuangan.

Dalam diskusi virtual pada Senin (6/7) oleh Narasi Institute lalu, Burhanuddin Abdullah, Mantan Gubernur BI, mengatakan ketidaksetujuannya bila OJK dibubarkan.

 

 

Wacana Perubahan Kedudukan OJK di bawah Bank Indonesia

Burhan cenderung memilih untuk mengatur ulang kelembagaan OJK dengan menggabungkannya ke dalam BI. Dengan begitu OJK akan berada di bawah otoritas BI. 

Nantinya, kepemimpinan lembaga keuangan tetap berasal dari Bank Sentral, sedangkan OJK akan dipimpin oleh direksi-direksi BI sendiri.

Untuk sistem pengawasan non-bank, Indonesia dapat melihat pengaturan Prancis yang pengaturan stock exchange-nya berada di luar OJK. Selain itu, industri keuangan non-bank masih bisa di bawah OJK yang telah di-merger dengan bank Indonesia.

OJK terbentuk saat terjadi pembahasan UU Bank Indonesia terkait konglomerasi keuangan. Lantas, terbentuknya Lembaga Pengawasan Jasa Keuangan atau yang dikenal dengan LPJK, cikal bakal berdirinya OJK saat ini.

 

Perlu Pertimbangan untuk Pemindahan Pengawasan OJK ke Bank Indonesia
Menurut Burhan, diperlukan diskusi yang mendalam mengenai pemindahan pengawasan perbankan dari OJK ke Bank Indonesia. Di tengah kondisi pandemi seperti saat ini, tidak bisa mengambil keputusan yang terkesan sembarangan.

"Jangan kita rock the boat padahal kapal sedang oleng kita harus pikirkan dalam-dalam langkah ke depan," katanya.

Di lain sisi, Andi Rahmat Manggabarani, selaku Ketua Badan Pengurus Daerah (BPD) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Sulawesi Selatan mengatakan, kelembagaan OJK ini masih diperlukan.

Peleburan OJK terlalu riskan, kata Andi, dan keputusan itu tidak bisa dilakukan dengan tergesa-gesa. Peran lembaga tersebut untuk mengawasi industri keuangan dinilai masih cukup penting.

Menurut Andi, kurang tegasnya pengawasan di OJK membuat beberapa pejabat terkait ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus PT Asuransi Jiwasraya. Hal ini perlu menjadi perhatian lebih jauh lagi.

Pasalnya, OJK tergolong lamban dalam hal mengungkapkan permasalahan yang dialami oleh industri dan entitas jasa keuangan.

Ketua Badan Supervisi Bank Indonesia, Fadhil Hasan, mengatakan proses pemindahan kewenangan tergolong riskan dan memakan waktu yang lama.

Perlunya juga untuk segera dibentuk lembaga pengawas OJK untuk mengawasi kinerja OJK dalam menjalankan tugasnya.

"Saya setuju bahwa kita tidak bisa memutuskan OJK bisa dibubarkan hanya karena kegusaran presiden. Ini ongkosnya terlalu mahal," tutur Fadhil.