Virtual Police Resmi Beroperasi, Seperti Ini Cara Kerjanya

<b> Lifepod.id </b> - Polisi siber resmi dioperasikan oleh Direktorat Tindak Pidana. Satuan ini akan memberikan peringatan kepada akun media sosial yang berpotensi melanggar pidana.

Virtual Police Resmi Beroperasi, Seperti Ini Cara Kerjanya
Img. Polisi siber atau virtual police akan beroperasi memantau media sosial di Indonesia | Unsplash

 

Wakil Ketua Komisi III, Ahmad Sahroni, menilai kebijakan virtual police ini akan memberikan dampak positif dengan memberikan peringatan lebih dulu kepada pengunggah konten yang melanggar UU ITE, sebelum diproses secara hukum.

Kebijakan ini, ucap Sahroni, dianggap bisa meningkatkan citra polisi yang humanis.

“Ini adalah pendekatan baru yang segar dan positif, polisi lebih mengutamakan pendekatan yang humanis dalam menindak dugaan hoaks daripada langsung melakukan penindakan,” jelas Sahroni kepada wartawan, Kamis (25/02).


Cara kerja dari Virtual Police

Petugas-petugas polisi siber mulai beroperasi dengan melakukan patroli virtual di media sosial, seperti Facebook, Twitter, dan Instagram.

Nantinya mereka akan memberikan edukasi terkait konten yang disebarkan oleh pihak-pihak tertentu apabila berpotensi melanggar tindak pidana lewat direct message.

Peringatan yang kepada akun tersebut merujuk pada kajian para ahli. Polisi akan melibatkan ahli bahasa, ahli pidana, hingga ahli ITE. Ini bertujuan untuk menekan subjektivitas polisi dalam menilai suatu konten yang tersebar di internet.

Jumlah maksimal teguran yang diberikan adalah dua kali. Bila pemilik akun tak kunjung memberikan respon juga, maka tim akan memanggil pemilik akun untuk diklasifikasi sebagai langkah akhir.

Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Slamet Uliandi, menjelaskan tentang langkah-langkah lebih lanjut terkait cara kerja polisi siber.

“Kami lakukan mediasi, restorative justice. Setelah restorative justice baru laporan polisi sehingga tidak semua pelanggaran atau penyimpanan di ruang siber dilakukan upaya penegakan hukum, melainkan mengedepankan upaya mediasi dan restorative justice,” ucapnya.

Kata Slamet, cara restorative justice dapat dilakukan misalnya terhadap dugaan kasus pencemaran nama baik, fitnah, penghinaan. Pelaku yang terlibat dengan kasus tersebut bisa tidak ditahan.

Kehadiran polisi siber tidak akan mengekang kebebasan warganet di dunia siber, namun bila ada yang melakukan kritik berlebihan, ujaran kebencian, hingga hoaks maka akan dilakukan penindakan.

 

Baca juga: Seberapa Efektif Belajar Sambil Mendengarkan Musik?