6 Alasan Tingkat Pernikahan di Korea Selatan Rendah

<b> Lifepod.id </b> - Berkurangnya minat menikah pada penduduk di usia produktif membuat Korea Selatan menghadapi masalah yang cukup serius, salah satunya penurunan pada angka kelahiran bayi.

6 Alasan Tingkat Pernikahan di Korea Selatan Rendah
Img. Tingkat pertumbuhan ekonomi di Korea Selatan tidak berbanding lurus dengan angka kelahiran disana | Pixabay

Tingkat kelahiran bayi di Korea Selatan menjadi terendah di dunia, membuat Korea Selatan semakin dipadati oleh orang tua.

Kondisi ini secara tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Dengan bertambahnya lansia, pemerintah akan lebih banyak mengeluarkan biaya kesejahteraan. Selain itu, generasi muda harus membayar pajak lebih banyak.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Apa yang membuat warga Korea Selatan, khususnya generasi muda, terkesan enggan menikah?

 

1. Tingginya Anggaran untuk Menikah

Menurut data yang dirilis Korea Standart Wedding Association, dibutuhkan sekitar 231,860,000 KRW (atau sekitar 3 miliar rupiah) untuk melangsungkan pernikahan. Jelas angka ini sangat besar hanya untuk mengubah status semata.

Bagaimana tidak menjadi momok bagi generasi muda? Biaya yang dikeluarkan semakin tidak masuk akal. Mulai sewa gedung, katering, hadiah pernikahan untuk mertua, belum lagi keperluan-keperluan lain.


2. Terlalu fokus dengan Karir

Akibat banyak generasi muda yang terlalu fokus membangun karir mereka di pekerjaan, menjadikan mereka banyak yang memilih untuk menikah tua bahkan tidak menikah sama sekali.

Kaum perempuan makin terdidik. Mereka banyak yang memprioritaskan untuk mengejar karir lebih dulu daripada buru-buru menikah.

Sejak awal tahun 2000-an sendiri, Korea memberikan keuntungan bagi perusahaan yang memiliki kompositas pegawai laki-laki dan wanita seimbang. Bukan hal aneh jadinya melihat banyak perusahaan yang mengangkat wanita dengan pangkat tinggi.

 


3. Sifat yang cenderung individualis

Kebanyakan orang di Korea Selatan nyaman untuk hidup sendiri. Terbukti, mereka lebih sering melakukan aktivitas-aktivitas seorang diri tanpa melibatkan orang lain.


4. Cenderung telat berkarir

Rata-rata usia lulusan fresh graduate employee tahun 2019 adalah 32,1 untuk laki-laki dan 30,5 untuk perempuan. 4 dari 10 orang telah berumur lebih dari 30 tahun.

Usia fresh graduate laki-laki lebih tinggi sebab mereka harus menjalani wajib militer selama 2 tahun.

Belum lagi, susahnya mencari pekerjaan di Korea Selatan. Rata-rata dari mereka banyak yang mengambil cuti kuliah untuk mengambil lisensi. Dibutuhkan setidaknya 7-10 lisensi untuk melamar pekerjaan.

Kondisi ini menyebabkan mereka menunda pernikahan dengan alasan ini fokus pada karir, juga finansial yang belum mendukung.


5. Mahalnya biaya membesarkan anak

Memang pemerintah banyak menanggung, seperti biaya sekolah dari TK hingga SMP hingga biaya makan pagi hingga malam. Namun, kebutuhan kursus anak sangat tinggi.

Sistem pendidikan di Korea terkenal “keras”. Seorang anak SD dalam sehari bisa mengikuti 5 kelas kursus hingga larut malam, termasuk hari libur. Belum lagi biaya tambahan lain, tentu angkanya cukup besar.


6. Pola pikir generasi muda

Status single di masa seperti ini bukan sesuatu asing yang membuat malu lagi. Malah dalam menulis identitas, istilah “belum menikah” diganti menjadi “tidak menikah”.

Sebuah riset memaparkan bahwa tiga tahun yang lalu 50 persen perempuan lajang di Korsel menilai pernikahan bukanlah suatu kewajiban yang harus dilakukan, melainkan pilihan.