6 Aturan Omnibus Law yang Dianggap Merugikan Pekerja

<b> Lifepod.id </b> - Pemerintah mengklaim <i>omnibus law</i> Cipta Kerja ini bisa meningkatkan nilai investasi dan kemudahan berusaha. Sedangkan, organisasi buruh menganggap aturan-aturan yang ada bersifat merugikan.

6 Aturan Omnibus Law yang Dianggap Merugikan Pekerja
Img. Ilustrasi pekerja buruh | Pixabay

Terdapat poin-poin penting di RUU Cipta Kerja yang dianggap merugikan kaum pekerja, diantaranya: 


1. Penghapusan Upah Minimum Kota atau Kabupaten

Dalam pasal 88C draft RUU disebutkan, “Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman.” Ayat (2) dijelaskan lebih lanjut bahwa upah minimum merupakan Upah Minimum Provinsi (UMP).

Sederhananya, aturan ini memungkinkan perubahan pada skema pengupahan dengan meniadakan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK), dan menjadikan UMP sebagai acuan.

Dengan begini, buruh yang upahnya mengacu pada UMK akan dirugikan. Contohnya, UMP 2020 Jawa Barat sebesar Rp 1,8 juta. Angka ini lebih rendah daripada UMK di sejumlah kabupaten/kota di Jawa Barat.

Di Kabupaten Karawang sendiri Rp 4.590.000, Bekasi Rp 4.580.000, dan di Kabupaten Bekasi sebesar Rp 4.490.000. Jelas angka ini berbanding terbalik dengan nilai UMK yang seharusnya didapatkan.


2. Berkurangnya Pesangon PHK

Perubahan pada besaran pesangon dibuat lantaran yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dinilai kurang implementatif.

Dalam kehidupan nyata, banyak perusahaan yang tidak mampu membayarkan pesangon sesuai yang tercantum dalam UU tersebut. Nantinya, besarnya pesangon yang didapat ditentukan berdasarkan masa kerjanya.

Sebelumnya juga bagi pengusaha yang melanggar ketentuan pesangon dan PHK ada sanksi pidana, namun sekarang dihapuskan.


3. Perubahan Terhadap Beberapa Masa Cuti

Perubahan di RUU Cipta Kerja ini adalah penghapusan cuti khusus haid hari pertama bagi perempuan. Aturan tersebut tercantum pada Pasal 93 huruf a.

Selain itu, RUU sapu jagat ini pada huruf b juga menghapus izin untuk keperluan menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anak, istri melahirkan/keguguran kandungan, hingga adanya anggota keluarga dalam satu rumah yang meninggal dunia.


4. Ketidakjelasan pada Nasib Outsourcing

Penghapusan Pasal 64 dan 65 UU Ketenagakerjaan yang mengatur tentang pekerjaan outsourcing membuat nasib pekerja alih daya semakin tidak jelas.

Penggunaan tenaga ahli daya akan semakin bebas. Padahal sebelumnya, tercatat di dalam undang-undang tentang pembatasan penggunaan outsourcing dan hanya untuk tenaga kerja di luar usaha pokok (core business).


5. Pekerja Bisa Dikontrak Seumur Hidup

Omnibus Law memberikan ruang bagi pengusaha untuk mengontrak seorang pekerja atau buruh tanpa batas waktu. 

Pada aturan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebelumnya, kontrak hanya boleh dilakukan paling lama 2 tahun dan memperpanjangnya setahun dengan jangka waktu maksimal satu tahun,

Dengan dihilangkannya Pasal 59 ini, maka tidak ada lagi batasan lama seorang pekerja bisa dikontrak.


6. Bersifat Eksploitatif, Jam Kerja Pekerja Semakin Bebas

RUU Omnibus Law dalam Pasal 77 mengatur tentang jam kerja maksimal, ditentukan waktu kerja paling lama 8 jam dalam satu hari dan 40 jam dalam 1 minggu.

Sayangnya, pada Pasal 77A ayat (1) disebutkan pengusaha dapat memberlakukan waktu kerja yang melebihi untuk jenis dan sektor usaha tertentu.

Dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya yang menjelaskan waktu kerja maksimal hanya 7 jam per hari untuk 6 hari kerja dan 8 jam sehari untuk 5 hari kerja.
 

Baca juga: Omnibus Law Menjadi Jawaban Masalah Ekonomi Indonesia?