Perlu Dipahami, Pasal Kontroversial Omnibus Law Tidak Rugikan Buruh

<b>Lifepod.id</b> - Istilah “Omnibus Law” pertama kali diutarakan oleh Presiden Joko Widodo pada 20 Oktober 2019 di Senayan. Namun saat ini RUU Omnibus Law banyak menuai kritik dan kontroversi.

Perlu Dipahami, Pasal Kontroversial Omnibus Law Tidak Rugikan Buruh

 

Saat itu, Jokowi mengatakan pemerintah akan mengajak DPR untuk menerbitkan UU Cipta Kerja dan menggabungkan sejumlah undang-undang terkait dalam satu undang-undang alias omnibus law. Berikut beberapa pasal pada RUU yang menuai pro dan kontra:

 

1. Pasal 520: Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Bisa Tegur hingga Pecat Kepala Daerah

Pasal 520 RUU ini mengatur jika mendagri berwenang memberi sanksi, teguran, hingga dan pemecatan kepala daerah. 

Pada ayat (1) pasal tersebut, kepala daerah yang tidak melaksanakan program strategis nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf f dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis oleh mendagri.

Pada ayat (2), mendagri berwenang memberhentikan selama tiga bulan kepala daerah yang tidak mengindahkan teguran tertulis.

Dan pada ayat (3), mendagri diberi kuasa penuh untuk memecat kepala daerah yang masih tidak patuh.

Disisi lain, Mendagri Tito Karnavian memastikan belum ada pasal tersebut dalam draf omnibus law namun jika ditemukan kebijakan seperti itu maka ia akan meminta hal tersebut di drop.

 

"Pertama, saya mau koreksi di dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja, saya sudah cek belum ada pasal mengenai pemberhentian kepala daerah oleh Mendagri atau Presiden. Kalaupun ada, tidak akan kita... saya sebagai Mendagri meminta itu didrop (diturunkan)," kata Tito di Kompleks DPR RI, Selasa (22/1).

 

2. Pesangon Pekerja akan Dihapus

Salah satu yang menjadi sorotan publik di klaster ketenagakerjaan yaitu tentang penghapusan pesangon. 

Atas rumor yang beredar ini Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah angkat bicara dan membantah rencana penghapusan pesangon itu.

 

"Gak. Gak benar pesangon dihilangkan," kata Ida di Jakarta, Selasa (14/1).

 

3. Skema Upah Buruh Diubah Jadi Perjam

Omnibus Law akan mengubah aturan tentang skema upah per bulan menjadi per jam yang menimbulkan pertentangan konstitusi baik itu UUD 1945 maupun UU No. 13 tahun 2003  tentang Ketenagakerjaan pasal pengupahan.

Menurut para pengamat kebijakan ini akan membuat perusahaan akan semena-mena dengan pekerjanya dan berdampak pada kemiskinan di masyarakat. 

Kemudian Jaminan sosial yang diberlakukan atas adanya standar UMP, dipastikan akan ditiadakan. Hal itu terjadi karena pengusaha merasa tidak lagi memiliki tanggung jawab atas pembayaran jaminan sosial lagi.

Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga membenarkan hal ini namun ia juga mengatakan jika skema gaji per jam tidak berlaku untuk seluruh buruh dan aparatur negara. Skema itu ditujukan untuk sektor jasa seperti konsultan dan pekerja paruh waktu.

 

“Kalau pekerja pabrik tetap gaji bulanan," kata Menko Airlangga di Jakarta Pusat, Jumat (27/12/19).

 

Jadi pekerja yang sudah menerima gaji bulanan tidak akan terpengaruh oleh wacana ini. Mereka akan tetap dibayar sesuai upah minimum yang ditetapkan.
 

4. Penghapusan Upah Minimum

Menurut Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, kontroversi terbesar yang pada kaum buruh yang menolak Omnibus Law ini dikarenakan adanya penghapusan sistem upah minimum. 

"Omnibus Law tersebut mengisyaratkan akan menghapus sistem upah minimum," kata dia saat aksi unjuk rasa di depan Gedung MPR, DPR dan DPD RI di Jakarta, Senin (21/1).

Ia mengatakan penerapan upah per jam tersebut akan mengakibatkan upah minimum terdegradasi bahkan hilang.

 

Baca juga: Omnibus Law Menjadi Jawaban Masalah Ekonomi Indonesia?

 

5. Pemerintah menyebut, buruh dan pihak terkait untuk memahami isi omnibus law secara mendalam

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan jika kebijakan Omnibus Law ini perlu dipahami lebih dalam lagi oleh para buruh. Ia menjelaskan pemahaman substansi perlu dilakukan dengan duduk bersama untuk untuk dapat mengerti arah tujuan dikeluarkannya kebijakan ini. 

 

"Justru beredar substansi yang isinya tidak benar. Cuti hamil katanya dihilangkan, padahal kata Pak Airlangga tidak. Maka yang lebih penting lagi nanti ada pertemuan yang bisa akomodir semua pihak, yang bisa mendengarkan. Substansinya agar tidak simpang siur," ujar Moeldoko.