Bermunculan Klaim Obat Penawar Covid-19, Benarkah?

Lifepod.id - Di tengah situasi pandemi Covid-19 yang semakin meningkat, beredar luas informasi mengenai cara mengobati pasien penderita Covid-19 dengan ramuan tradisonal hingga kombinasi obat-obatan. Apakah terbukti efektif secara nyata?

Bermunculan Klaim Obat Penawar Covid-19, Benarkah?

Meskipun sempat ramai bermunculan berbagai klaim yang menyebutkan mampu menjadi penawar dari penyakit ini, mulai obat berbahan alami dari Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) hingga perpaduan lima obat dari Rektor Universitas Airlangga yang dianggap ampuh. Namun memang hingga saat ini, belum ditemukan obat yang benar-benar mampu menyembuhkan Covid-19.

1. Atasi Gejala Covid-19 dengan Obat

Dilansir melalui diskusi virtual pada Minggu (28/6) sore, pihak Humas RSUP Persahabatan, DR. Dr. Erlina Burhan, mengatakan jika saat ini sebagai penanganan tenaga medis memang menggunakan beberapa jenis obat untuk mengatasi gejala.

"Obatnya merupakan obat yang spesifik dan kerjanya masing-masing berbeda, maka kami memberikan beberapa tidak satu saja," ungkap Erlina.

Tak hanya obat-obatan, jika penggunaan obat tetap tidak bekerja bagi pasien, terdapat alternatif terapi yang bisa dilakukan, seperti terapi stem cell, interferon, atau human immunoglobulin.

 

Baca juga: Corona Segera Lenyap Akhir 2020, Pariwisata akan Booming 2021

 

2. Hoaks Mengenai Penggunaan Obat Deksametason
Penggunaan Deksametason yang ramai dibicarakan menjadi sorotan Erlina. Padahal obat ini termasuk kedalam golongan obat keras yang jika ingin dikonsumsi harus berdasarkan resep dokter dan penggunaannya bukan untuk pencegahan semata.

"Saya dengar masyarakat banyak yang borong Deksametason secara online. Padahal itu adalah obat keras yang banyak efek sampingnya," tegasnya.

Berdasarkan suatu studi di Inggris, obat Deksametason ini dapat membantu pasien kritis.

"Deksametason dosis rendah itu ada manfaatnya untuk pasien-pasien yang kritis, yang dalam ventilator. Itu bisa menurunkan sepertiga dari kematian, dan seperlima kematian pada pasien-pasien yang membutuhkan oksigen," jelas Erlina.

3. Menghargai Inovasi Masyarakat, Namun Tetap Perlu Taati Aturan
Sedangkan di lain sisi, perwakilan dari Badan Nasional Penganggunalangan Bencara (BNPB), Dr. M. Nasser, menyatakan jika menghargai usaha dan inovasi masyarakat selama ini. Tetapi ada beberapa hal yang tetap harus diperhatikan agar tidak keluar dari batasan.

Menjaga kreativitas ini arus tetap sesuai peraturan perundangan, ujar Nasser, Tidak bisa kita mengatakan karena basis kita sendiri.

Dalam kesempatan yang sama, Nasser juga mengatakan tidak sedikit pihak yang justru memanfaatkan situasi ini untuk mencari keuntungan.

"Ini banyak juga mengambil kesempatan di tikungan. Saya kira tugas kita adalah mendorong hal-hal yang baik namun menutup celah orang-orang yang spekulatif kayak ini," ujarnya tegas.

 

Baca juga: Presiden Himbau Tetap Optimistis Lawan Pandemi

 

4. BPOM Tidak Menutup Pintu Inovasi
Serupa dengan BNPB, Direktur Registrasi Obat Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Dr. Rizka Andalucia, juga mengatakan hal yang sama. Asalkan setiap obat yang ditemukan harus melalui tahap pengujian khasiat serta keamanannya sebelum dipastikan aman dikonsumsi.

"Untuk menjamin bahwa penggunaan obat tersebut digunakan secara rasional. Artinya tidak boleh ada overclaim (klaim berlebihan). Tidak boleh ada klaim yang tidak dapat dibuktikan dengan data uji klinik,” imbuhnya.

Durasi registrasi obat yang dulunya bisa sekitar 400 hari kerja, dalam situasi saat ini dipangkas hingga mencapai 25 hari kerja saja. Tak hanya itu, proses fase uji klinis pun juga demkian. Izin penggunaan darurat sudah diberikan meski baru lolos tahap dua saja.

Jika ditemukan keganjikan saat penggunaan obat tersebut di tahap tiga dan empat, sewaktu-waktu peredaran obat bisa ditarik kembali.

Dengan demikian, belum ditemukan vaksin ataupun obat yang benar-benar mampu mengobatati. Penelitian terus dilakukan dengan metode ilmiah untuk menemukan penawar dari Covid-19 ini.